Searching...
Minggu, 13 Mei 2012

Memahami Homoseksualitas Lewat Alkitab


Saya memasukan tulisan ini agar teman teman yang masih gelisah dan selalu mencari bisa sedikit tercerahkan, dan seandainya tidak tercerahkan paling tidak mempunyai pemahaman tentang homoseksualitas dan Alkitab. Tulisan ini ditulis oleh Stephen Sulaiman beliau adalah dosen di STT Jakarta dan seorang Pendeta. Selamat membaca

Memahami Homoseksualitas Lewat Alkitab
Membangun Perdamaian Melalui Keragaman
Stephen Suleeman[1]


Pendahuluan
Pemahaman orang Kristen tentang homoseksualitas seringkali didasarkan pada Alkitab. Argumen bahwa pernikahan yang direstui Allah hanyalah “Adam and Eve” dan bukan “Adam and Steve” diajukan berdasarkan kisah dalam Kitab Kejadian bahwa pasangan suami-istri pertama yang diciptakan Tuhan adalah Adam dan Ha­wa. Dalam Kejadian 4:1 dikatakan “Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya, dan mengan­dunglah perempuan itu …” Argumen lainnya yang sangat sering diajukan adalah kisah Sodom dan Gomora yang digambarkan sebagai kota-kota yang dihukum Allah karena dosa-dosa mereka mempraktikkan homo­seksualitas. Dari nama kota Sodom ini pula kita memperoleh kata “sodomize” dalam bahasa Inggris yang diambil alih begitu saja ke dalam bahasa Indonesia menjadi “sodomi”.

Dalam makalah ini saya ingin mengajak Saudara-saudara meninjau bagaimana Alkitab memahami homosek­sualitas – atau bagaimana penafsiran Alkitab dibuat sehingga seolah-olah memberikan kepada kita suatu pehamaman tentang homoseksualitas.

I. Arti Alkitab sebagai Kitab Suci Kristen
Sesungguhnya pemahaman tentang apa Alkitab itu sendiri tidak tunggal. Ada sejumlah pendekatan yang mungkin dapat dibagi menjadi dua bagian besar: Ada sebagian orang yang menganggap bahwa Alkitab adalah kitab suci yang berasal dari Tuhan, yang didiktekan oleh Tuhan kepada para penulisnya, yang kemudian disalin begitu saja oleh Musa, Daud, para nabi, bahkan juga oleh Matius, Markus, Lukas, Yohanes, dll. Pemahaman seperti ini disebut sebagai “mechanic inspiration” atau pengilhaman secara mekanis. Si penulis bertindak seperti sebuah mesin rekaman yang menuliskan segala sesuatu yang didengarnya dari sumbernya (=Allah). Seringkali orang menggunakan ayat-ayat tertentu untuk menunjukkan bahwa pengilhaman secara mekanis itulah yang digunakan dalam Alkitab. Mis. seringkali para nabi menggunakan kata-kata “demikianlah firman TUHAN”.. (Yer. 23:7; Yeh. 18:32, dll.). Ada 352 ayat Alkitab yang berkata demikian, sehingga tampaknya klaim ini cukup kuat.

Pemahaman yang kedua adalah anggapan bahwa para penulis kitab-kitab di dalam Alkitab mem­per­oleh pengilhaman dari Allah dan menggumulinya dengan lingkungannya, dengan nilai-nilai yang berlaku pada masa itu, dengan apa yang ia pahami sebagai kebenaran Allah, dengan budaya, dengan adat-istiadat, dll. De­ngan demikian Kitab Suci dipahami sebagai hasil pergulatan spiritual para penulis dengan apa yang ia pahami sebagai kebenaran. Pemahaman seperti ini disebut sebagai “dynamic inspiration” atau pengilhaman secara dinamis. Si penulis bukan sebuah mesin rekaman yang mendengar dan mencatat segala sesuatu, melainkan mengungkapkan hasil pergumulannya dalam tulisannya.

II. Masalah
1. Pengilhaman
Masalah pengilhaman dalam penulisan Alkitab menjadi masalah yang sangat sengit diperde­batkan. Kelompok-kelompok fundamentalis berpegang teguh bahwa Allah melalui Roh Kudus sepe­nuhnya mengilhami para penulis Alkitab dengan kata-kata yang dituliskannya sehingga isi Alkitab tidak mungkin mengandung kesalahan (doktrin ineransi) dan pernyataan-pernyataannya tidak mung­kin keliru (doktrin infalibilitas).

Ajaran ini memperhadapkan kita dengan masalah ketika kita menemukan bahwa Alkitab ternyata tidak seratus persen “error proof” (bebas dari kesalahan). Ada banyak bagian Alkitab yang dapat ditunjuk sebagai “kesalah­an”. Misalnya, siapakah pembunuh Goliat? Kebanyakan orang dengan segera dapat menye­butkan nama Daud. Namun dalam 2 Samuel 21:19 kita menemukan ayat ini: “Dan terjadi lagi pertempuran melawan orang Filistin, di Gob; Elhanan bin Yaare-Oregim, orang Betlehem itu, menewaskan Goliat, orang Gat itu, yang gagang tom­baknya seperti pesa tukang tenun.”

Bila Saudara bingung dengan ayat ini, maka mungkin kita akan lebih bingung lagi ketika menemukan sebuah ayat lain, yaitu I Tawarikh 20:5 yang mengatakan, “Maka terjadilah lagi pertempuran melawan orang Filistin, lalu Elhanan bin Yair menewaskan Lahmi, saudara Goliat, orang Gat itu, yang gagang tombaknya seperti pesa tukang tenun.”

Sebuah contoh lainnya, dalam 1 Samuel 28:6 dikatakan bahwa Saul bertanya kepada Tuhan apakah ia boleh menyerang orang Filistin yang mengepung tentaranya, “tetapi TUHAN tidak menjawab dia, baik dengan mimpi, baik dengan Urim, baik dengan perantaraan para nabi.” Karena itulah ia kemudian mencari perempuan yang mampu memanggil arwah untuk berkonsultasi dengan arwah Samuel.

Tetapi bila kita membaca 1 Tawarikh 10:13-14 kita menemukan laporan yang lain. Di situ dikatakan, “Demiki­anlah Saul mati karena perbuatannya yang tidak setia terhadap TUHAN, oleh karena ia tidak berpegang pada firman TUHAN, dan juga karena ia telah meminta petunjuk dari arwah, dan tidak meminta petunjuk TUHAN. Sebab itu TUHAN membunuh dia dan menyerahkan jabatan raja itu kepada Daud bin Isai.”

Contoh-contoh seperti ini masih banyak lagi. Ketika menyadari bahwa ternyata pendekatan “peng­ilhaman mekanis” melahirkan begitu banyak masalah, para pembela teologi ineransi dan infalibilitas Alkitab menga­takan bahwa teks-teks yang kita pegang sekarang mungkin keliru. Tetapi teks aslinya tidak. Nah, bukankah ini jalan keluar yang paling gampang, karena mereka tahu bahwa tak seorangpun yang memiliki teks-teks Alkitab yang asli. Teks-teks yang ada sekarang adalah salinan dari salinan dari salinan dari salinan yang entah sudah melalui berapa puluh atau ratus tangan.

Karena itulah, sebagian teolog menolak “pengilhaman mekanis” dan memilih “verbal plenary inspiration” atau “pengilhaman verbal sempurna”. Menurut doktrin ini pengaruh Roh Kudus terhadap para penulis Kitab Suci jauh melampaui pikirannya bahkan hingga menjangkau pilihan setiap kata yang digunakan oleh para penulis, namun tidak sampai pada pendiktean kata demi kata. Menurut doktrin ini, setiap kata yang digunakan oleh setiap penulis sepenuhnya adalah kata-kata manusia, namun juga sepenuhnya dipimpin oleh Roh Allah, se­hingga setiap kata itu seratus persen bersifat ilahi dan seratus persen pula bersifat manusiawi. Saya mengha­dapi masalah di sini sebab sejauh ini yang diterima oleh gereja-gereja sebagai “seratus persen bersifat ilahi dan seratus persen pula bersifat manusiawi” hanyalah Yesus Kristus sendiri.

Bila kita memahami masalah-masalah yang muncul dari pemahaman tentang pengilhaman seperti di atas, maka tampaknya yang paling masuk akal adalah pemahaman “pengilhaman dinamis”. Pendekatan ini mengakui bahwa Alkitab adalah karya manusia yang di dalamnya Allah ikut campur, sehingga apa yang tertulis di dalamnya tidak tinggal sebagai tulisan biasa, melainkan suatu kesaksian tentang pekerjaan Allah. Kesaksian tersebut mungkin punya berbagai kelemahan dan kekurangan. Karena itulah kita harus menafsirkan Alkitab dengan hati-hati untuk dapat menemukan apa yang sebetulnya menjadi kehendak Allah, dan mana yang meru­pakan kehendak manusia.

2. Penafsiran
Penafsiran Alkitab dapat menjadi sulit karena orang-orang yang menganggap bahwa Alkitab tidak mungkin mengandung kesalahan dan tidak mungkin keliru di dalam pernyataan-pernyataannya biasanya sudah memiliki suatu pemahaman tertentu tentang makna Alkitab. Karena Alkitab bersifat ineran dan infalibel, maka makna yang dipahami dari bagian-bagian Alkitab harus dijaga supaya mencerminkan suatu pola penafsiran tertentu.

Misalnya, karena dalam Alkitab dikatakan bahwa Adam berpasangan dengan Hawa, maka tidak mungkin ada pernikahan antara manusia sejenis. Di masa lalu bahkan larangannya bukan hanya pasangan sejenis, melain­kan juga mencakup pasangan yang memiliki ras yang berbeda. Tapi benarkah demikian? Kita akan membahas­nya kelak. Namun sementara itu kita juga harus memahami bahwa pemahaman tentang Alkitab sudah menga­lami banyak perkembangan. Orang tidak begitu saja menerima Alkitab sebagai firman Tuhan yang harus dite­rima bulat-bulat. Kemajuan dalam dunia pemikiran dan pemahaman tentang budaya masyarakat di masa lampau membuat orang sadar bahwa Alkitab tidak bisa diaminkan begitu saja.

Sebagai contoh, kini orang sadar bahwa ada banyak teks Alkitab yang mengandung kekerasan sehing­ga harus dipertanyakan relevansinya untuk masa kini. Dahulu orang percaya bahwa Allah sendiri yang meme­rintahkan genosida terhadap musuh-musuh Israel, misalnya. Tindak kekerasan seperti dalam Mazmur 137:9, misalnya, dianggap biasa, “Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu!” Pemahaman-pemahaman seperti ini yang telah membuat orang Kristen dan gereja terlibat dalam ber­bagai tindak kekerasan yang mestinya membuat kita bertanya, sungguhkah semua ini merupakan kehendak Allah?

Dengan perkembangan zaman, peningkatan akal budi, banyak orang Kristen dan gereja yang semakin sadar bahwa kekerasan bukanlah kehendak Allah. Dewan Gereja-gereja se-Dunia, misalnya, sejak Sidang Rayanya yang ke-9 di Harare, Zimbabwe, telah mencetuskan “Dasawarsa untuk Mengatasi Kekerasan”. Sejak itu berba­gai program DGD telah diarahkan kepada upaya-upaya untuk mengatasi berbagai bentuk kekerasan khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas dan mereka yang rentan terhadap tindak kekerasan oleh mereka yang memegang atau memiliki kekuasaan, seperti kelompok mayoritas, patriarki, dll.

Apa yang menjadi kehendak Allah bagi manusia? KItab Yeremia mengungkapkannya dengan sangat baik, ketika di situ dikatakan “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku menge­nai kamu, de­mikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk member­kan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yer. 29:11) Para penulis Alkitab pada umum­nya sepakat bahwa Allah menghendaki kebaikan, damai sejahtera, syalom yang sejati bagi hidup manusia. Karena itulah, apabila ada tafsiran-tafsiran yang tidak menghadirkan syalom yang sejati ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa itu adalah tafsiran yang keliru. Syalom sejati tidak mungkin dihadirkan dan dinikmati oleh umat Allah dengan mengorbankan orang lain atau dengan menginjak-injak sesama manusia atau makhluk hidup lainnya. Syalom sejati dalam pemahaman orang Israel kuno dan Yahudi adalah suatu keadaan ketika

Adakah syalom yang palsu? Tentu ada. Yeremia sendiri berbicara tentang hal itu ketika ia mengatakan bahwa banyak nabi palsu yang memberitakan “damai sejahtera, damai sejahtera”, tetapi damai sejahtera yang sesungguhnya tidak ada. (Yer. 6:14) Pemberitaan seperti ini adalah pemberitaan yang palsu, pemberitaan yang tidak dengan sungguh-sungguh mengkonfrontir permasalahan yang dihadapi oleh umat dan menutupi segala sesuatu yang dengan penghiburan-penghiburan hampa, sementara situasi yang sebenarnya justru bertolak belakang.

III. Pemahaman tentang Homoseksualitas
Dengan bekal pemahaman di atas, sekarang marilah kita melihat bagaimana teks-teks Alkitab berbica­ra tentang homoseksualitas atau isu-isu yang terkait dengan LGBTIQ. Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa ada beberapa teks Alkitab yang sering digunakan untuk memahami homoseksualitas (secara keliru). , antara lain teks-teks di bawah ini:

1. Kisah penciptaan Adam dan Hawa (Kejadian 1-2)
Kisah penciptaan Adam dan Hawa seringkali dipakai untuk menolak pernikahan sejenis (gay, lesbian, maupun transgender). Sebuah situs Kristen menjelaskan sebagai berikut:[2]
Some gays have such issues with self-identity, that they try to ‘switch’ their genders in secret, calling themselves made-up things like ‘transgender’ or ‘transsexual’, as if their choice to mutilate their bodies and adorn themselves in the socially acceptable attire of the opposing gender can somehow undo their baseline genetic code.

Gays must be taught to choose that their lifestyle and desire is not normal. Gays must accept that a man’s body is designed to mate with a woman. A woman’s body is designed to mate with a man. This is normal and based on our bauplan, the very essence of our species, we are meant to do.

Pemahaman seperti ini sangat jelas menunjukkan bahwa si penulis sama sekali tidak memahami atau menolak untuk memahami isu-isu yang terkait dengan masalah seksualitas manusia. Baginya, manusia laki-laki dan perempuan itu adalah seperti hitam dan putih, siang dan malam. Tidak ada abu-abu, tidak ada fajar maupun petang. Padahal manusia pada kenyataannya lebih seperti pelangi dengan berbagai spektrum warnanya.

Kisah penciptaan manusia dalam Kitab Kejadian sama sekali tidak tuntas menggambarkan keadaan manusia dan seluruh alam ciptaan. Misalnya, Kitab Kejadian mengatakan bahwa Allah menciptakan benda-benda penerang “untuk memisahkan siang dari malam…” (Kej. 1:14-16). Namun pada kenyataannya kita tahu bahwa siang dan malam tidak terpisahkan melainkan merupakan suatu kesinambungan. Hari berubah perlahan-lahan dari gelap malam menjadi fajar dan pagi lalu berubah menjadi siang dan petang lalu malam pun tiba.

Kisah Kejadian juga menceritakan kepada kita bagaimana tumbuh-tumbuhan bertumbuh. Dalam Kej. 1: 9 dst. dikisahkan bahwa pertama-tama Allah memisahkan air dari daratan, lalu menamai kumpulan air itu “laut”. Lalu dari tanah muncullah tunas-tunas muda, “segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji.” (ay. 12) Itulah penciptaan yang terjadi pada hari yang ketiga.

Pada hari yang keempat Allah melanjutkan karya penciptaan-Nya dengan menciptakan “benda-benda pene­rang pada cakrawala untuk memisahkan siang dari malam. Biarlah benda-benda penerang itu menjadi tanda yang menunjukkan masa-masa yang tetap dan hari-hari dan tahun-tahun,” (1: 14) Pertanyaan kita ialah, bagai­mana mungkin tumbuh-tumbuhan bertumbuh apabila matahari belum diciptakan? Ya, para pembela doktrin ineransi dan infalibilitas Alkitab akan mengatakan, bukankah cuma beda satu hari? Setelah tumbuh-tumbuhan diciptakan, esok harinya Allah menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang. Tapi di pihak lain ada penaf­sir yang mengatakan bahwa satu hari dalam kisah kejadian itu sama dengan seribu tahun, atau bahkan sejuta tahun (bdk. 2 Ptr. 3:8, “Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu, bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari.”)

Pendeknya di kalangan kelompok-kelompok fundamentalis tafsiran Alkitab bisa ditarik dan diulur sesuka-sukanya selama tafsiran itu bisa melindungi status Alkitab yang infalibel dan ineran.[3] Sebaliknya, kalau kisah Kejadian ternyata tidak tuntas – seperti yang akan dikatakan oleh mereka yang mengikuti tafsiran yang didasarkan pada pengilhaman yang dinamis – maka mestinya masalah utamanya bukanlah soal “Adam dan Hawa” saja, sebab kita juga menemukan ada begitu banyak orang yang dari orientasi seksualnya berada di antara Adam dan Hawa. Apakah mereka bukan ciptaan Tuhan? Kaum fundamentalis mengatakan “Tidak!”

Misalnya, kita dapat membaca dalam tulisan di bawah ini yang menolak mengakui bahwa kaum gay (dan semua orang lainnya yang tergabung dalam kategori LGBTIQ) mengalami pergumulan yang hebat dengan identitas dirinya:[4]

Gays always love to pretend that they are in some struggle for equality, trying to convince non-gays to join their cause based on faulty notions such as ‘genetics’ or ‘condition’, that do not apply to gays.

The gay agenda has become increasingly belligerent, manipulative and aggressive. Gays wish to force their lifestyle upon our society and children. Gays wish to make it seem that society at large thinks their forceful behavior is acceptable, and actively recruit others to help them manipulate scien­tific polls, created to show that gays are not accepted and America stands against gay marriage.

It is one thing for people in general society to fall for such rhetoric and clap-trap, but for scientists to fall for this is completely absurd. Scientists should understand that being gay is not a genetic condi­tion that has been proved in any primary journal study of significant confidence.

Nah, kalau kaum gay ternyata hanya berpura-pura bahwa mereka menghadapi pergumulan, maka sudah jelaslah bahwa mereka tidak akan dimungkinkan untuk menikahi pasangannya yang sejenis. Padahal apakah dasar dari suatu pernikahan? Bagi sebagian orang mungkin pernikahan tidak membutuhkan cinta kasih sebagai dasarnya. Ada banyak sekali pernikahan yang dilakukan karena terpaksa, karena desakan orangtua, karena faktor ekonomi, karena sudah telanjur diperkosa dan hamil, karena pertimbangan-pertimbangan politik, dll. Dan banyak dari pernikahan tersebut adalah pernikahan heteroseksual, namun ternyata tidak memberikan kebahagiaan kepada kedua suami-istri itu. Coba lihat pernikahan antara Pangeran Charles dengan Lady Diana. Atau pernikahan antara Elizabeth Taylor dengan sekian suaminya (kalau tidak salah 7 orang). Apakah itu perni­kahan yang lebih baik daripada pernikahan LGBTIQ? Saya katakan, “Tidak!” Akan lebih baik sebuah pasangan gay atau lesbian atau lainnya dari komunitas LGBTIQ menikah dengan baik karena cinta mereka, daripada pasangan hetero yang menikah tanpa landasan cinta – meskipun orang Jawa mengatakan “witing tresno jalaran kulino”. Pada praktiknya semboyan ini tidak selamanya terwujud.

2. Kisah Sodom dan Gomora (Kejadian 19: , Yudas 1:7)
Banyak sekali orang yang yakin bahwa kejahatan warga Sodom dan Gomora yang membuat mereka dihukum mati oleh Tuhan adalah kejahatan homoseksual. Lot yang kedatangan dua orang tamu, yang tidak lain daripada malaikat Allah, tiba-tiba harus menghadapi gerombolan penduduk Sodom yang menuntut agar ia menyerahkan kedua tamunya itu kepada mereka, karena mereka ingin melakukan hubungan seksual dengan orang-orang asing itu.

Sejumlah penafsir mengatakan bahwa apa yang menjadi kesalahan warga Sodom dan Gomora adalah bahwa mereka tidak memperlakukan tamu-tamu mereka dengan ramah-tamah. Keramahtamahan di kalangan masya­rakat Israel kuno – bahkan sampai sekarang – adalah hukum yang wajib yang dilakukan oleh semua orang. Per­hatikan apa yang dilakukan oleh orang-orang Gibeon yang menyamar sebagai orang-orang yang datang dari ja­uh untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Yosua (Yosua 9). Yosua melihat penampilan mereka yang compang-camping, akhirnya menaruh kasihan dan setuju untuk menjalin persahabatan dengan orang-orang itu.

Sebagian penafsir mengatakan keramahtamahan bukanlah suatu hukum yang diperintahkan Allah. Benarkah demikian? Kenyataannya tidak demikian. Dalam Matius 25:42-45 Yesus mengatakan,

42 Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum; 43 ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku. 44 Lalu me­reka pun akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau? 45 Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.

Ada banyak hagadah, atau cerita rakyat Yahudi kuno yang mengisahkan kekejaman orang-orang Sodom kepa­da orang asing dan perlakuan buruk mereka kepada orang-orang miskin dan para tuna wisma. Ada kisah-kisah yang menceritakan bagaimana para pengelana diberikan emas, dan bukan makanan. Ketika mereka mati kela­paran, segala sesuatu yang mereka miliki pun dirampas, termasuk emas dan pakaian yang mereka kenakan, kemudian tubuhnya dibiarkan hingga membusuk. [5]

Yang juga menarik dalam kisah Lot ini adalah ketika Lot berusaha menenangkan orang-orang Sodom dengan menawarkan kedua anak perempuannya “yang belum pernah dijamah laki-laki, baiklah mereka kubawa ke luar kepadamu; perbuatlah kepada mereka seperti yang kamu pandang baik; hanya jangan kamu apa-apakan orang-orang ini, sebab mereka memang datang untuk berlindung di dalam rumahku.” (19:8). Bagi sebagian orang, tindakan Lot ini dianggap suatu tindakan kepahlawanan yang membela dan melindungi tamu-tamunya. Tapi sungguhkah ini tindakan yang bijaksana, yaitu mengorbankan kedua anak perempuannya sendiri?

Meskipun demikian, para penafsir konservatif-fundamentalis merasa bahwa kesimpulan yang mereka tarik mendapatkan mendapatkan dukungan dari Alkitab. Misalnya, dalam Imamat 18:22, “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.”

Apakah yang dimaksudkan dengan kekejian itu? Ada banyak hal yang disebutkan dalam Alkitab sebagai “kekejian”, misalnya Amsal 6: 16-19:

16 Enam perkara ini yang dibenci TUHAN, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: 17 mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, 18 hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, 19 seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara

Ulangan 25:13-16, Amsal 11: 1 dan 20:10 menyebutkan kecurangan dalam bisnis sebagai “kekejian” di mata Tuhan. Bahkan doa pun bisa menjadi suatu kekejian bila hal itu dilakukan oleh seseorang yang tidak mau mendengarkan hukum-hukum (Taurat) Tuhan (Amsal 28:9). Dalam Perjanjian Baru digambarkan bahwa di mata Yesus sikap merasa benar sendiri adalah suatu kekejian (Luk. 16: 15-16 )
Sebuah rujukan Alkitab lain yang sering digunakan oleh para penafsir konservatif-fundamentalis adalah Yudas 1:7 yang berbunyi,
sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang.

Apa yang dimaksud dengan “kepuasan-kepuasan yang tak wajar” itu? Teks aslinya dalam bahasa Yunani, menggunakan kata sarkos heteras untuk “kepuasan-kepuasan yang tidak wajar”. Dalam berbagai terjemahan lain, kata yang digunakan adalah perverted sensuality, unnatural lust, unnatural sex, lust of men for other men, pur­sued unnatural desire, sexual sin, even perversion. Kita melihat bahwa semua kata itu merujuk kepada ke­inginan akan hubungan seksual yang tidak lazim. Dalam terjemahan Alkitab tertentu, jelas kelihatan bagai­mana agenda atau ideologi tertentu ikut mewarnai pilihan kata yang digunakan, sehingga kata itu diterje­mah­kan menjadi “nafsu laki-laki terhadap laki-laki lain”. Tetapi baiklah kita mencoba melihat apa yang dimak­sud­kan dengan sarkos heteras ini. Sarkos berarti tubuh”, “jasmani”, “fisik”, dan heteras berarti “berbeda”. “Tubuh yang berbeda” seperti apakah yang dicari oleh orang-orang Sodom tersebut? Kembali ke kisah Kejadi­an 19, kita diingatkan bahwa kedua tamu Lot itu adalah malaikat Tuhan. Artinya, mereka bukan orang Sodom. Bisa jadi mereka kelihatan seperti orang asing, atau bahkan makhluk yang berbeda dari manusia biasa. Andai­kata memang dosa orang Sodom adalah dosa seksual, tampaknya inilah yang membangkitkan nafsu seksual mereka. Hal ini mirip dengan para wisatawan Eropa yang datang ke Thailand atau Bali untuk mencari perem­puan-perempuan Asia karena daya tarik eksotis yang ingin mereka nikmati.

Jadi sarkos heteras yang dimaksudkan dalam Surat Yudas 1:7 ini tampaknya sama sekali tidak berkait­an dengan homoseksualitas. Bahkan tafsiran bahwa kisah penghancuran Sodom dan Gomora itu disebabkan oleh perilaku homoseksual, menurut para pakar, tidak pernah muncul hingga awal abad keli­ma Masehi. Hieronimus, seorang penerjemah Alkitab, menggunakan istilah Sodoman, Sodomis, Sodomorum, Sodomæ, Sodomitæ untuk kelakuan orang-orang Sodom (Hallam 1993).

3. Pandangan Paulus (Roma 1:26-31)
Sebuah teks yang seringkali digunakan untuk mengutuk homoseksualitas adalah Roma 1:26-27
26 Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. 27 Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka. 28 Dan karena mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas: 29 penuh dengan rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan. 30 Mereka adalah pengumpat, pemfitnah, pembenci Allah, kurang ajar, congkak, sombong, pandai dalam kejahatan, tidak taat kepada orang tua, 31 tidak berakal, tidak setia, tidak penyayang, tidak mengenal belas kasihan.

Menurut teks ini sekelompok orang tertentu di Roma dihukum Allah karena melakukan hubungan seksual yang “tidak wajar”. Ayat-ayat ini seharusnya dibaca dan dipahami dalam satu konteks yang utuh. Kalau kita melihat konteksnya, maka kita akan menemukan bahwa Paulus di sini sedang berbicara tentang perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang dari perintah Allah, yaitu mereka yang

“penuh dengan rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan. Mereka adalah pengumpat, pemfitnah, pembenci Allah, kurang ajar, congkak, sombong, pandai dalam kejahatan, tidak taat kepada orang tua, tidak berakal, tidak setia, tidak penyayang, tidak mengenal belas kasihan.”

Berbagai penyimpangan seksual yang dilakukan oleh orang-orang di Roma ini tampaknya tidak bisa dilepaskan dari penyembahan berhala yang biasa dilakukan oleh orang-orang non-Yahudi. Ketika menulis Roma 1 ini, tampaknya Paulus merujuk kepada Kebijaksanaan Salomo 14:27-28 yang berbunyi,

27 Sebab pemujaan allah-allah yang hampa adalah awal, sebab dan akhir segala kejahatan. 28 Para pemujanya bermata gelap dalam kesuka-sukaannya, atau meramalkan kebohongan belaka, hidup secara fasik atau mengangkat sumpah dusta.

Dalam praktik-praktik pemujaannya, para penyembahnya melakukan hubungan seksual dengan para pelacur kuil, baik laki-laki maupun perempuan.[6]

IV. Kesimpulan
Alkitab seringkali keliru dipahami ketika kita membaca ke dalamnya dengan cara-cara berpikir orang modern dan mengabaikan situasi, kondisi, latar belakang budaya, pergumulan para penulis Alkitab, dll. dengan perso­alan-persoalan yang hidup pada masanya. Isu-isu LGBTIQ, misalnya, tidak menjadi perhatian utama para penulis Alkitab. Para nabi di Perjanjian Lama dan Yesus sendiri hampir-hampir tidak pernah berbicara tentang homoseksualitas sebagai dosa.

Yang juga menarik dan perlu dicatat ialah bahwa Alkitab hampir-hampir membisu terhadap orientasi seksual lesbian. Tampaknya hal itu tidak menjadi perhatian masyarakat pada zaman penulisan Alkitab. Setidak-tidak­nya hubungan lesbian mungkin terjadi dengan sangat tertutup sehingga orang tidak menyadari keberadaan­nya.

Sebaliknya, ada sejumlah teks Alkitab yang kemungkinan merujuk kepada hubungan homoseksual atau lesbian seperti yang kita kenal sekarang, seperti yang kita temukan dalam ungkapan cinta kasih Daud kepada Yonatan dalam 2 Sam. 1:26, “Merasa susah aku karena engkau, saudaraku Yonatan, engkau sangat ramah kepadaku; bagiku cintamu lebih ajaib dari pada cinta perempuan.”

Demikian pula hubungan antara Naomi dan Rut dapat dicurigai sebagai hubungan yang intim lebih daripada sekadar hubungan antara seorang mertua dengan menantunya. Rut berkata kepada Naomi ketika Naomi menyuruhnya pulang ke keluarganya, “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jikalau sesuatu apa pun memisahkan aku dari engkau, selain dari pada maut!” (Rut 1:16-17)

Sudah tentu tafsiran-tafsiran di atas tidak akan muncul dari pihak-pihak konservatif-fundamentalis yang akan mati-matian menyangkal bahwa Daud dan Yonatan adalah homoseksual, atau setidak-tidaknya bi-seksual. Demikian pula halnya dengan Naomi dan Rut.

Apa yang seringkali dilupakan orang dalam memahami isu-isu LGBTIQ lewat penggalian teks-teks Alkitab adalah tekanan yang sangat kuat dalam Alkitab terhadap masalah-masalah keadilan, damai sejahtera, kese­diaan untuk mengakui bahwa diri sendiri tidak lebih baik daripada orang lain di hadapan Allah. Inilah yang berulang kali kita temukan dalam kitab-kitab para nabi dan ajaran Yesus sendiri. Dalam Mikha 6:8 dikatakan “…apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” Orang-orang yang mengutuk homoseksualitas seringkali justru gagal dalam melaksanakan perintah ini. Mereka tidak dapat memahami bahwa preferensi dan orientasi seksual seseorang bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah diubah, seperti halnya bila seorang heteroseksual dipaksa untuk berubah menjadi homoseksual.

Dengan kesadaran inilah maka gereja-gereja (sebagian) mulai menyadari kesalahannya di masa lampau dan kini mulai aktif berpihak dan memperjuangan hak-hak kaum LGBTIQ. Seperti yang dikatakan oleh Uskup J.S. Spong dari Gereja Episkopal di AS,

“I am always amazed at how the Bible, that portrays my Lord embracing the outcasts, touching the lepers, welcoming the Samaritans, not judging the woman taken in the act of adultery, and inviting ‘all of ye,’ not ‘some of ye,’ to ‘come unto me,’ can, in the hands of a few distorted people be turned into a book of hatred, violence and judgment.”

Dengan pemahaman ini, kita akan lebih dimampukan untuk membangun masyarakat kita yang majemuk dan agama benar-benar dapat memainkan peranannya yang dapat menolong kita untuk memperdalam pengha­yatan kita akan panggilan kita untuk menghadirkan syalom, damai sejahtera Tuhan bagi sesama dan keseluruhan alam ciptaan ini.

Sumber-sumber
Anderson, Inge. 1999. “What Is an Abomination to God?” dalam http://glow.cc/isa/abomination.htm, diiunduh 27 Maret 2012.

Barr, .James. Fundamentalisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

“Gay Marriage In The Bible”, dalam http://christiangays.com/marriage/gay_marriage.shtml, diunduh 27 Maret 2012.

“Romans 1 And Homosexuality: What Is The Biblical Context Of Romans 1?” dalam http://www.gaychristian101.com/Romans-1-And-Homosexuality.html, diunduh 27 Maret 2012.

“Should Transgender or Transsexual People Be Allowed to Marry?” diunduh dari http://christwire.org/2010/08/should-transgender-or-transsexual-people-be-allowed-to-marry/, 26 Maret 2012.

[1] Disampaikan pada Young Queer Faith and Sexuality Camp, Yogyakarta, 12 April 2012. Penulis adalah dosen di STT Jakarta, dan seorang pendeta.

[2] “Should Transgender or Transsexual People Be Allowed to Marry?” diunduh dari http://christwire.org/2010/08/should-transgender-or-transsexual-people-be-allowed-to-marry/, 26 Maret 2012.

[3] Lih. James Barr, Fundamentalisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991).

[4] “Should Transgender or Transsexual…”

[5] “Gay Marriage In The Bible”, dalam http://christiangays.com/marriage/gay_marriage.shtml, diunduh 27 Maret 2012.

[6] “Romans 1 And Homosexuality: What Is The Biblical Context Of Romans 1?” dalam http://www.gaychristian101.com/Romans-1-And-Homosexuality.html, diunduh 27 Maret 2012.

0 comments:

Posting Komentar

 
Back to top!