Searching...
Kamis, 08 Desember 2011

Refleksi Menjelang Natal


Natal sebentar lagi tiba dan biasanya ini juga akan mempengaruhi sisi spiritual teman teman L. Saya sering mendapat curhat dari teman L karena merasa berdosa menjadi L. meskipun saya mencoba menjelaskan tentang agama dan lain lain, tetap saja dia belum bisa menemukan ketenangan yang dia hayati. Karena agama adalah hal pribadi seseorang yang tidak bisa dipaksakan oleh orang lain, apa yang dia percaya dan yakini. Seseorang harus bisa melalui pergulatannya sendiri dan mendapatkan kedamaiannya sendiri. Saya mungkin bisa dikatakan beruntung karena tidak pernah melalui fase itu. Karena agama saya adalah agama traditional keturunan tionghoa yang selalu diajak klenteng untuk sembayang dewa dewa. Dan saya tidak mendapat doktrin tentang dosa menjadi lesbian seperti agama samawi. Jadi ketika saya menjadi Katholik, saya juga tidak mengalami pergulatan seperti itu. Oleh karena itu saya ingin berbagi tulisan tentang Apa Kata Alkitab Tentang Lesbian yang ditulis oleh Ernest J.K.Wen. Tulisan ini sudah pernah dimuat di website Swara Srikandi yang sekarang sudah tidak ada. Jadi tidak salahnya kalau saya muat sekali lagi di blog saya ini. Semoga tulisan dibawah ini membawa kedamaian dan mengatar teman teman melalu pergulatan dengan damai.   


Apa Kata Alkitab Tentang Lesbian

Pengantar

Apakah hubungan homoseks dilarang oleh agama dan merupakan perbuatan dosa yang tak ada ampun? Mengapa pertanyaan ini dipertanyakan? Mengapa kita tidak bertanya apakah hubungan heteroseks itu perbuatan dosa? Perbedaan ada tentu saja karena kebiasaan, adat-istiadat, tradisi. Tetapi meskipun begitu, mencari sebuah jawaban yang memuaskan tidaklah mudah. Apalagi, kita tidak bebas mendiskusikannya, tidak sebebas kaum heteroseks mendiskusikan hubungan mereka. Jika kita bertanya kepada pemimpin agama, jelas mereka akan menyalibkan kita tanpa berpikir dua kali. Jika kita bertanya kepada orang-tua, mungkin mereka akan terkena serangan jantung. Jika kita bertanya kepada dokter, mereka akan mengatakan kita perlu psikiater, karena jiwa kita sakit.
Ya, jadi seperti kamu, aku telah merenungi pertanyaan ini selama bertahun-tahun.
Setiap saat begitu pikiranku tidak diisi oleh hal lain, tidak perduli apakah aku sedang memeluk kekasihku, ketika sedang terjebak kemacetan lalu-lintas, bahkan ketika sedang berdoa di dalam gereja sampai ketika sedang mengikuti retreat,  aku berusaha mencari jawaban tanpa hasil. Diam-diam aku melakukan sebuah analisa ringan, terutama mulai mencatat apa yang kubaca dan kualami.  Tetapi lama-kelamaan hal ini tidak terlalu menggangguku lagi begitu aku mulai bisa menerimanya. Aku meneruskan hidupku sebagai lesbian penganut Katolik yang baik (menurut ukuranku sendiri).
            Akhir-akhir ini, secara tidak sengaja masalah ini muncul dalam pembicaraan dengan beberapa teman sehati yang sedang mengalami pergumulan batin. Aku kembali teringat akan catatan lama yang kini kertas-kertasnya sudah mengguning. Tetapi ketika ingin menuliskannya, aku diserang keragu-raguan. Tidakkah aku justru berbuat dosa dengan melakukan hal ini? Tidakkah aku akan menyinggung hati pembaca yang mempunyai keyakinan lain? Tetapi akhirnya aku memutuskan untuk menuliskannya dengan ketulusan hati. Ya, ketulusan hati yang aku percayai tidak akan menyakiti hati siapapun.
            Ketika kamu membaca tulisan ini, harap diingat bahwa ini adalah renungan pribadi, karena itu isinya sangat pribadi dan unik.  Aku tidak akan merasa heran jika kamu tidak sependapat denganku.  Aku akan memperingatkanmu juga, bahwa ini bukanlah esai karya seorang saleh, dan juga bukan analisa Teologi. Terakhir tapi terpenting aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak bermaksud mempengaruhi kepercayaan atau sikapmu terhadap suatu agama atau kepercayaan tertentu yang kebetulan berbeda dengan kepercayaanmu. Aku memakai Alkitab sebagai referensi karena hanya itu yang aku kuasai secara agak lebih baik. Sungguh, aku tidak bermaksud menyinggung kamu, jika kepercayaanmu lain. Jika ada sesuatu, sekecil apapun yang membuat kamu merasa tidak enak, maka dengan segala rendah-hati aku minta maaf sedalam-dalamnya padamu. Semoga renungan ini bermanfaat bagi kita semua.

Apakah Menurut Alkitab Hubungan Homoseksualitas Adalah Dosa?
Jika kita mencoba mencari sebuah jawaban to the point ya atau tidak untuk pertanyaan di atas, jawaban seperti itu tidak akan diketemukan. Dari penafsiran banyak orang akan menjawab ya dan bahwa dengan jelas beberapa ayat dalam Alkitab mengutuk homoseks. Namun, seperti kitab suci pada umumnya, arti tiap-tiap ayat di dalam Alkitab dapat berbeda menurut siapa yang membacanya, atau bagaimana membacanya. Seorang Teolog akan mempunyai interpretasi yang berbeda dengan seorang Biarawan dan berbeda dengan seorang Antropolog dan seterusnya. Tetapi perbedaan yang paling penting adalah antara orang yang percaya dengan yang tidak percaya. Sebagai seorang penganut agama Kristen, percaya saja tidak cukup baik, tetapi harus dibaca dengan iman. Mungkin karena hal ini, maka selama berabab-abab gereja pernah melarang umat awam untuk membaca Alkitab agar tidak memunculkan penafsiran yang keliru dan berbeda-beda.
            Menurut iman Kristen Alkitab adalah Firman Tuhan, Sabda Allah yang diwahyukan kepada para nabi. Tetapi harus  dipahami bahwa Alkitab ditulis oleh manusia, tidak ditulis langsung oleh Tuhan. Dan juga tidak ditulis atau dicatat segera pada saat Firman itu disampaikan atau Wahyu diterima. Sering pula penerima Firman atau penerima Wahyu bukanlah penulis itu sendiri, tetapi pertama-tama Firman itu disampaikan secara lisan dan entah berapa lama sesudah itu baru dituliskan di atas entah loh-batu, daun lontar atau kertas. Oleh sebab itu, Alkitab kental dengan tradisi dan cara hidup serta cara berpikir penulisnya.
            Apakah Alkitab mengutuk homoseksual? Jawabnya Ya; baik pada Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, kecuali kitab-kitab Injil.  Bedanya pada Perjanjian Lama kutukan itu terdengar begitu menakutkan, contohnya terdapat pada kitab Imamat: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri” (Imamat 20:13)
Kitab Imamat diturunkan Tuhan pada saat Musa sedang memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan. Sepanjang pengembaraan di padang pasir bangsa yang masih uncivilized itu selalu bersungut-sungut kepada Musa setiap kali mereka menghadapi kesulitan. Bangsa itu tidak menurut kepada Musa dan tidak  percaya kepada Tuhan. Mereka sering membuat berhala untuk disembah. Di tengah kemurkaanNya menyaksikan tingkah-laku bangsa itu, maka Tuhan menurunkan sepuluh Firman disertai ajaran-ajaran moral yang mungkin belum pernah dikenal bangsa Israel sebelumnya.
Kutukan di atas bukanlah satu-satunya jenis penyimpangan yang dikutuk, hampir keseluruhan bab ini berisi larangan melakukan hubungan seksual yang amoral dan abnormal, antara lain; dilarang berzinah dengan istri orang lain, mertua lelaki dilarang berhubungan seks dengan menantu perempuannya, seorang lelaki dilarang kawin dengan seorang wanita dan anak perempuannya sekaligus, lelaki maupun perempuan dilarang berhubungan kelamin dengan binatang. Semuanya larangan tersebut di atas diancam dengan hukuman mati. Bahkan yang ekstrim dan agak aneh untuk ukuran jaman sekarang adalah jika seorang laki-laki melakukan hubungan seks dengan seorang perempuan yang sedang haid, dan perempuan tersebut tidak mencegahnya, kedua-duanya dikatakan harus dilenyapkan!
            Mengapa larangan-larangan itu terdengar begitu keras dan menyeramkan? Mungkin karena kekerasan hati umat Israel yang tidak patuh terhadap Tuhan, sehingga Musa perlu mempergunakan taktik menakut-nakuti mereka. 
Yang menarik adalah bahwa tidak sekalipun Perjanjian Lama menyinggung hubungan homoseks perempuan atau lesbian. Apakah masa itu hubungan lesbian belum dikenal karena jumlah kaum laki-laki lebih banyak dari pada kaum perempuan? Ataukah karena kaum gay melakukan hubungan sejenis terang-terangan dan sangat sering terjadi karena sulit menemukan perempuan untuk memuaskan nafsu birahi mereka? Bukankah ada kemungkinan Sodom dan Gomorah ditunggangbalikkan Tuhan karena dosa sodomi (ada kemungkinan kata “sodomite” berasal dari kata Sodom. Lihat juga Judas 7)?
            Berbeda dengan kitab Perjanjian Lama yang sarat dengan tradisi bangsa Israil kuno, bahkan sangat sulit dipahami tanpa mengerti tradisi dan cara hidup masa kuno itu, maka kitab Perjanjian Baru terasa lebih universal.  Intisari dari semua ajaran Yesus adalah cinta-kasih, dan ajaranNya memang ditujukan kepada bangsa-bangsa di seluruh permukaan bumi ini.
Pada keempat Injil; yaitu Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes yang mencatat kisah hidup dan ajaran Yesus, tidak ada satu ayatpun yang mengutuk atau melarang homoseks secara eksplisit seperti kitab Imamat. Yesus memang berfirman mengenai perceraian dan zinah. “Barang siapa menceraikan istrinya kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Matius 19:9).  Ajaran yang sama juga ditulis dalam Injil Markus 10: 11. Mengenai hubungan heteroseks dan homoseks mungkin hanya inilah ayat-ayatnya: “…bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan…” (Matius 19:4, Markus 10:6) dapat ditafsirkan bahwa Ia, Yesus memberikan pandanganNya, bahwa pada dasarnya manusia itu harus hidup berpasang-pasangan, laki-laki dengan perempuan. Dan tentang penyimpangan orientasi seksual dikatakanNya : Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh Kerajaan Surga…(Matius 19:12). Dalam Injil versi bahasa Inggris, ayat tersebut di atas terbaca:  “For there are eunuchs who have been so from birth, and there are eunuchs who have been made eunuchs by men and there are eunuchs who have made themselves eunuchs for the sake of the kingdom of heaven…” Eunuchs menurut kamus Webster, kira-kira adalah laki-laki yang dikebiri, sida-sida, atau para banci.
Apakah sikap lunak Yesus disebabkan homoseks bukanlah suatu problem susila seperti terjadi pada jaman nabi Musa? Ataukah karena kasihNya dan keilahianNya, maka Dia dapat mengerti dan mau menerima setiap manusia, dengan penyimpangan-penyimpangannya? Ataukah karena cinta-kasih dapat menutupi segala pelanggaran seperti dikatakan penulis kitab Amsal? (Amsal 10:12).
Ayat-ayat selanjutnya tentang hubungan homoseksual ditulis oleh Santo Paulus, merupakan pandangan pribadinya dan kecamanya sebenarnya lebih ditujukan kepada kaum Farisi dan Yahudi yang sudah menerima hukum Taurat, tetapi sikap mereka munafik menurut Paulus. Kepada jemaat di Roma, Paulus menulis,”Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar” (Roma 1:26). Apakah yang dimaksud Paulus dengan wajar (natural) dan tidak wajar (unnatural) adalah hubungan lesbian? Tidak sejelas cara dia mengatakan mengenai para suami yang melakukan hubungan yang tidak wajar,…”sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki…” (Roma 1:27).
Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Paulus berapi-api ketika dia berbicara mengenai mencari keadilan dan kerajaan surga, dia mendaftarkan sejumlah pendosa yang menurutnya tidak akan mewarisi kerajaan surga, …Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci (dalam versi bahasa Inggris ditulis homosexual) …”(1 Kor 6:9). Ada beberapa kali lagi Paulus menyinggung soal homoseksual. Kepada Timotius, dia menulis lagi tentang tentang kegagalan jemaat mengamalkan hukum Taurat. (1 Timotius 9-10). Seorang rasul lain, Yudas juga mengingatkan kepada jemaat Kristen yang pertama agar tidak jatuh ke dalam kedosaan seperti Sodom dan Gomora.

Percabulan dan Cinta Kasih Lesbian

Jika diperhatikan lebih dalam, dengan segala keawaman maka yang dikecam dan dikutuk baik penulis Perjanjian Lama maupun Rasul Paulus adalah percabulan. Percabulan memang bukan monopoli golongan tertentu. Baik heterosek maupun homoseks, percabulan dan perzinahan dapat terjadi. Seorang suami yang menyeleweng, istri yang serong, laki-laki cabul baik dengan sesama laki-laki maupun dengan perempuan yang bukan istrinya dan pelacuran.  
            Ketika kita mencoba mencari cara bagaimana merekonsiliasi iman Kristen dengan orientasi seksual kita, mungkin pertama-tama kita harus jujur pada diri sendiri, apakah kita membangun sebuah hubungan berdasarkan kasih yang suci ataukah nafsu berahi? Kita tidak dapat menutup mata terhadap berbagai cara yang dipergunakan kaum lesbian untuk mencari kepuasan seksual.  Beberapa contoh “kebejatan” dapat dikemukakan di sini. Ada seorang isteri yang di permukaan membina perkawinan normal, diam-diam mengajak teman wanitanya untuk pemanasan sebelum kedua wanita itu akhirnya digauli sang suami.  Wanita-wanita biseksual yang saling merangsang sebelum berhubungan seks dengan laki-laki,  berame-rame pula. Atau kaum lesbian yang gonta-ganti pasangan. Di kota-kota metropolitan seperti Jakarta, pelacuran di kalangan homoseks tidak kalah serunya dengan pelacuran kaum heteroseks.
            Kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada rumah tangga yang berantakan karena sang suami tiba-tiba menyadari dirinya ternyata gay, istri yang tiba-tiba merasa perkawinan yang telah dibina sekian waktu itu salah, bahwa dia hanya bisa berbahagia dengan teman wanitanya.  Peristiwa seperti ini memang sangat menyedihkan, terutama buat pasangan dan anak-anak yang dikorbankan. Jadi dapat dimengertilah jika kemudian anak-anak, pihak keluarga dan bekas pasangan mencela homoseksual, merasa jijik dan benci. Ada istri yang merasa sepuluh kali lebih baik suaminya berselingkuh dengan seorang wanita dari pada seorang pria, demikian juga seorang suami akan merasa lebih sportif bersaing dengan sesama pria dari pada dengan seorang wanita.
Tetapi apakah orang-orang yang melakukan hal-hal di atas pernah merisaukan bagaimana merekonsiliasi antara iman dengan orientasi seksual mereka?  Mungkin tidak. Mereka adalah penikmat manisnya dosa atau kaum yang mengaku tidak beragama. Tetapi rekonsiliasi sangat diperlukan bagi mereka yang memiliki perasaan cinta-kasih yang begitu kuat terhadap pasangannya tetapi di lain pihak merasa berdosa. Dan terutama rekonsiliasi diperlukan karena sebagai manusia kita tidak memiliki hidup kita ini. Apapun yang menjadi pilihan hidup kita, harus kita pertanggungjawabkan. Apapun pilihan hidup kita, hendaknya pilihan itu tidak mengorbankan kebahagian orang lain.
            Jika akhirnya kita meyakini kesucian cinta kita, bahwa kita telah membawa arti dalam hidup pasangan kita tanpa mengorban siapapun dan kita merasa bahagia dengan hubungan kita, maka kembali lagi pertanyaan yang sama; apakah kita telah berdosa? Jawabanya sekali lagi, kita tidak tahu. Tidak ada yang tahu, namun harus diketahui bahwa Tuhan tidak suka kesombongan, tidak perduli siapapun kita, apapun yang kita lakukan, Tuhan menilai dari ketulusan kita. 
Tentang hal ini Yesus memberikan pengajaran kepada kita melalui Injil Lukas, ceritanya ada dua orang datang ke Bait Allah untuk berdoa, yang pertama seorang Farisi yang melaksanakan semua ketentuan hukum Taurat, yakni, tidak lalim, tidak merampok, tidak berzinah dan memberikan sepersepuluh penghasilannya serta berpuasa dua kali seminggu, karena itu dia merasa telah berbuat benar dan tidak berdosa. Orang kedua seorang pemungut cukai (yang sering dijadikan lambang orang berdosa), merasa sangat malu dan tidak layak di hadapan Tuhan, karena itu dia berdiri jauh-jauh dengan kepala tertunduk dia berdoa demikian: “Ya, Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” Menurut Yesus, pemungut cukai inilah yang akan dibenarkan di hadapan Allah sedangkan orang Farisi itu justru jatuh karena tinggi hati, karena merasa sudah bersih dan suci (Lukas 18: 9-14). 

Merekonsiliasi Iman dengan Orintasi Seksual
Sesungguhnya apakah dosa itu? Sebuah perasaan bersalahkah? Alkitab menerjemahkan dosa sebagai perbuatan yang melawan perintah Tuhan.  Apakah mencintai seseorang melawan perintah Tuhan? Kita tidak dapat menghakimi diri kita sendiri maupun meminta orang lain menghakimi kita.  Kita juga tidak akan menemukan jawaban yang praktis dari Alkitab, karena Alkitab memang bukan sebuah buku tuntunan praktis. Meskipun Yesus Kristus mengatakan bahwa hukum yang utama adalah cinta-kasih, tidak berarti kita dapat membenarkan diri kita begitu saja.
Ada sebuah contoh yang sangat bagus yang telah ditelankan oleh Yesus Kristus yang kiranya mencerminkan bagaimana sikap Tuhan sendiri terhadap menghakimi dan dosa.  Dalam kitab Injil Yohanes dikisahkan bahwa para ahli Taurat dan orang Farisi ingin mencobai Yesus, karena itu dibawakan kepadaNya seorang wanita yang ketahuan telah berbuat zinah. Mereka ingin mencobai Yesus, apakah Dia akan melakukan tindakan sesuai hukum Taurat yaitu merajam perempuan itu dengan batu sampai mati, ataukah berbuat lain. Tetapi Yesus mengetahui maksud mereka dan Dia tidak ingin melayani mereka pada mulanya, tetapi orang-orang itu mendesak terus.
Akhirnya Yesus berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yoh. 8:1-11). 
            Ya, siapa dari antara kita yang bukan orang berdosa? Ahli Taurat dan kaum Farisi itupun tidak merasa dirinya tanpa dosa. Mereka pergi seorang demi seorang, hingga tinggallah Yesus dan perempuan itu.  Pada ayat kesepuluh, dikatakan Yesus berdiri dan berkata kepada perempuan itu demikian: “Hai, perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?” Perempuan itu menjawab: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
            Janganlah kita mencari pembenaran dan merasa tidak berdosa dengan alasan apapun. Kebijaksanaan kita mungkin tidak pernah cukup untuk menjawab pertanyaan kita sendiri, mengapa kita mencintai seorang wanita? Mengapa kita homoseks?  Mengapa kita tidak dapat mencintai seorang laki-laki? Mengapa Tuhan memberikan kita sifat orientasi seksual yang berbeda? Ataukah mengapa terjadi suatu peristiwa dalam hidup kita sehingga membuat kita berubah? Dan banyak lagi alasan mengapa seseorang menjadi lesbian. Tetapi semua itu terjadi bukan karena suatu kebetulan, tetapi mungkin kehendak Tuhan agar terjadi seperti itu. Jadi yang harus kita lakukan adalah pasrah. Serahkan sepenuhnya problem maupun harapan kita ke dalam tanganNya. Rekonsiliasi terjadi jika kita tetap mempunyai relasi dengan Tuhan dan mempunyai hati yang penuh kasih.
            Rekonsiliasi tidak akan terjadi jika kita ketakutan akan dosa kita dan menutup hati kita yang ingin mencinta. Banyak kemungkinan kita akan bersungut-sungut kepada Tuhan dan rusaklah relasi kita dengan Dia.  Menutup hati kita terhadap cinta akan menimbulkan banyak kesengsaraan, menahan diri untuk mencintai bahkan akan menghancurkan hati orang lain, mungkin pula menghilangkan satu-satunya kesempatannya untuk berbahagia.

 Apa Yang Dapat Kita Lakukan?
Jika kita telah pasrah dan mau menerima kelainan kita, lalu apa yang dapat kita lakukan? Berbuat sesuatu yang berguna atau bersembunyi bagaikan pengecut adalah daftar isi dari pada pilihan kita.
Banyak hal positif yang dapat dilakukan oleh sepasang lesbian. Keadaan dunia hari ini sungguh jauh berbeda dengan 2000 tahun yang lalu apalagi masa nabi Musa memimpin umat Israil menyeberangi Laut Merah. Pada masa itu jumlah manusia tidak sebanyak saat ini. Untuk memperkuat pasukan pemimpin-pemimpin masa itu memerlukan banyak kaum pria, karena itu hubungan heteroseks penting agar bangsa berkembang.
Namun hari ini banyak anak-anak menjadi yatim-piatu oleh berbagai sebab. Manusia di atas bumi sudah melebih lima milyar banyaknya,  maka jika Tuhan masih mengutus seorang nabi, maka mungkin dia akan mengimbau umatnya untuk selibat atau menjalin hubungan homoseksual saja. Mungkin saja.  Para anak yatim-piatu tadi, mereka membutuhkan kasih-sayang, perlindungan dan rasa aman. Jika ada pasangan lesbian yang bersedia mengasuh dan mengasihi mereka, tidakkah hati Tuhan tergerak?
Masih banyak hal-hal baik dan mulia yang dapat dilakukan dan tentu saja lebih baik dilakukan berdua dari pada sendiri, bukan?  Berikan diri kita untuk dipakai Tuhan, karena hanya Dialah yang tahu apa yang terbaik bagi hidup kita. Siapapun kita.

 Pengakuan Pasangan Lesbian Kristen
Tidak mudah mengumpulkan bahan untuk mengisi bagian tulisan ini. Selama bertahun-tahun aku sendiri tidak pernah menyadari bahwa ada pergumulan batin seperti ini. Aku mengenal pasangan hidup saya ketika saya belum dibaptis menjadi seorang Kristen-Katolik. Ketika sudah menjadi seorang Katolik yang beriman, aku malah mempengaruhi pasanganku yang tadinya belum menganut agama tertentu sehingga diapun akhirnya dibaptis sebagai seorang Kristen.
Jika saya pikirkan dalam-dalam ternyata sikap saya hari ini tidaklah jauh berbeda dengan sikapku pada waktu awal aku dibaptis. Aku masih percaya bahwa Tuhan mengasihiku apa adanya, dan aku selalu berusaha untuk membalas kasih-sayangNya dengan memberikan kasih itu kepada sesamaku, termasuk pasangan hidupku dan aku berusaha sekeras-kerasnya agar apapun pilihan hidupku, aku akan mempertanggungjawabkannya baik sekarang maupun pada hari penghakiman akhir. Dan yang terpenting, saya berusaha untuk tidak mengorbankan orang lain. Ketika ujian datang menimpaku, kasih-sayangku teruji, karena ketika semuanya diambil dari tanganku, cinta-kasihku tidak berkarat menjadi benci dan dendam.
Semua yang aku katakan di atas bukanlah kesaksian atau pembenaran diri apalagi pengajaran. Tetapi sekedar sharing antara kita. Jadi saya juga ingin mengundang teman-teman untuk sharing pengalaman masing-masing, bisa mengirimkan email langsung kepada saya ernestjkwen@googlemail.com , jika kamu tidak ingin semua orang ikut membaca apa yang kamu tulis, atau jika kamu ingin semua teman-teman bisa membacanya dan mendiskusikannya, Forum di web-site Swara Srikandi adalah tempat yang cocok untuk itu. 
             Karena seperti saya katakan di atas tidak mudah memperoleh bahan untuk mengisi bagian ini, tetapi cerita-cerita yang inspiratif sebenarnya banyak tersedia di situs Christian Lesbian, http://www.christianlesbians.com. Tetapi janganlah semua itu dibaca dan ditafsirkan sebagai kesaksian dan pembenaran diri.

 Jangan Meninggalkan Ibadahmu
Sebagai orang Kristen aku percaya bahwa menjadi pengikut Yesus Kristus bukanlah pilihan hidup tetapi panggilan hidup. Seperti Yesus Kristus sendiri menyatakan “Bukan engkau yang memilih Aku, tetapi Aku yang memilihmu”. Jadi jika ada umat Kristen yang meninggalkan kebaktiannya karena dia seorang lesbian, maka aku percaya bukan karena itu sebabnya, sebabnya karena Tuhan memang menghendaki untuk tidak memanggilnya untuk saat itu atau untuk tujuan lain. Kerajaan Allah siapa yang dapat menduganya?
Tetapi jika kamu seorang beragama—agama apapun--, dan kamu seorang lesbian, aku ingin mengimbau dengan sepenuh hatiku agar kamu tidak meninggalkan ibadahmu kepadaNya, agar kamu tidak menyerah dalam imanmu. Karena jauh dari Tuhan, kita akan binasa, bukalah dirimu sepenuhnya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Ia yang akan membentuk hidupmu, menuntun jalan hidupmu, siapapun kamu. Jangan biarkan manusia lain menghakimimu, bahkan jangan sampai kamu menghakimi dirimu sendiri.
Apapun yang akan terjadi, semuanya akan terjadi seturut kehendak Tuhan.  Kasih suci tidak pernah berkarat, tidak pernah mendatangkan penderitaan. Karena kasih itu memberi dengan tulus dan siapa yang memberi dia akan menerima, siapa yang tidak memiliki dia tidak akan kehilangan.
Tetapi nafsu selalu ingin dipuaskan, tidak pernah memberi karena itu tidak akan menerima, tidak akan bertumbuh kembang. Dan ketika apa yang diinginkan diperoleh, kebosananlah yang menyusul, semua yang kita miliki akan diambil dari kita suatu ketika. Jadi jika kamu mencintai seseorang, cintailah dia dengan setulus-tulusnya, jika kemudian Tuhan menghendaki kalian untuk berpisah, perpisahan itu akan menjadi perpisahan yang baik, tidak ada yang akan disakiti. Jadi jangan takut untuk mencintai.
Jika setelah kamu baca renungan ini, kamu berpendapat apa yang saya katakan adalah omong kosong belaka. Aku ingin menyakinkanmu bahwa tidak ada yang omong kosong, apa yang aku katakan adalah pengalaman, renungan, ilham dan karunia. Jika kamu pikir apa yang saya tulis ini cukup bagus, tetapi kamu masih merasa ketidakseimbangan antara iman dengan orientasi seksualmu, maka saya ingin menganjurkan padamu, berhentilah melawan dirimu sendiri, berhentilah merasa berdosa, kamu hanya perlu menutup mata, merapatkan jari-jemarimu dan berdoa dengan pasrah. Jadilah bejana yang siap dibentuk. Selanjutnya terserah Dia.

1 comments:

 
Back to top!