Natal sebentar lagi
tiba dan biasanya ini juga akan mempengaruhi sisi spiritual teman teman L. Saya
sering mendapat curhat dari teman L karena merasa berdosa menjadi L. meskipun
saya mencoba menjelaskan tentang agama dan lain lain, tetap saja dia belum bisa
menemukan ketenangan yang dia hayati. Karena agama adalah hal pribadi seseorang
yang tidak bisa dipaksakan oleh orang lain, apa yang dia percaya dan yakini. Seseorang
harus bisa melalui pergulatannya sendiri dan mendapatkan kedamaiannya sendiri. Saya
mungkin bisa dikatakan beruntung karena tidak pernah melalui fase itu. Karena
agama saya adalah agama traditional keturunan tionghoa yang selalu diajak
klenteng untuk sembayang dewa dewa. Dan saya tidak mendapat doktrin tentang
dosa menjadi lesbian seperti agama samawi. Jadi ketika saya menjadi Katholik,
saya juga tidak mengalami pergulatan seperti itu. Oleh karena itu saya ingin
berbagi tulisan tentang Apa Kata Alkitab
Tentang Lesbian yang ditulis oleh Ernest J.K.Wen. Tulisan ini sudah pernah
dimuat di website Swara Srikandi yang sekarang sudah tidak ada. Jadi tidak
salahnya kalau saya muat sekali lagi di blog saya ini. Semoga tulisan dibawah
ini membawa kedamaian dan mengatar teman teman melalu pergulatan dengan damai.
Apa Kata Alkitab Tentang Lesbian
Pengantar
Apakah hubungan
homoseks dilarang oleh agama dan merupakan perbuatan dosa yang tak ada ampun?
Mengapa pertanyaan ini dipertanyakan? Mengapa kita tidak bertanya apakah
hubungan heteroseks itu perbuatan dosa? Perbedaan ada tentu saja karena
kebiasaan, adat-istiadat, tradisi. Tetapi meskipun begitu, mencari sebuah
jawaban yang memuaskan tidaklah mudah. Apalagi, kita tidak bebas
mendiskusikannya, tidak sebebas kaum heteroseks mendiskusikan hubungan mereka.
Jika kita bertanya kepada pemimpin agama, jelas mereka akan menyalibkan kita
tanpa berpikir dua kali. Jika kita bertanya kepada orang-tua, mungkin mereka
akan terkena serangan jantung. Jika kita bertanya kepada dokter, mereka akan
mengatakan kita perlu psikiater, karena jiwa kita sakit.
Ya,
jadi seperti kamu, aku telah merenungi pertanyaan ini selama bertahun-tahun.
Setiap saat begitu
pikiranku tidak diisi oleh hal lain, tidak perduli apakah aku sedang memeluk
kekasihku, ketika sedang terjebak kemacetan lalu-lintas, bahkan ketika sedang
berdoa di dalam gereja sampai ketika sedang mengikuti retreat, aku berusaha mencari jawaban tanpa hasil.
Diam-diam aku melakukan sebuah analisa ringan, terutama mulai mencatat apa yang
kubaca dan kualami. Tetapi lama-kelamaan
hal ini tidak terlalu menggangguku lagi begitu aku mulai bisa menerimanya. Aku
meneruskan hidupku sebagai lesbian penganut Katolik yang baik (menurut ukuranku
sendiri).
Akhir-akhir ini, secara tidak
sengaja masalah ini muncul dalam pembicaraan dengan beberapa teman sehati yang
sedang mengalami pergumulan batin. Aku kembali teringat akan catatan lama yang
kini kertas-kertasnya sudah mengguning. Tetapi ketika ingin menuliskannya, aku
diserang keragu-raguan. Tidakkah aku justru berbuat dosa dengan melakukan hal ini?
Tidakkah aku akan menyinggung hati pembaca yang mempunyai keyakinan lain?
Tetapi akhirnya aku memutuskan untuk menuliskannya dengan ketulusan hati. Ya,
ketulusan hati yang aku percayai tidak akan menyakiti hati siapapun.
Ketika kamu membaca tulisan ini,
harap diingat bahwa ini adalah renungan pribadi, karena itu isinya sangat
pribadi dan unik. Aku tidak akan merasa
heran jika kamu tidak sependapat denganku.
Aku akan memperingatkanmu juga, bahwa ini bukanlah esai karya seorang
saleh, dan juga bukan analisa Teologi. Terakhir tapi terpenting aku ingin kamu
tahu bahwa aku tidak bermaksud mempengaruhi kepercayaan atau sikapmu terhadap
suatu agama atau kepercayaan tertentu yang kebetulan berbeda dengan
kepercayaanmu. Aku memakai Alkitab sebagai referensi karena hanya itu yang aku
kuasai secara agak lebih baik. Sungguh, aku tidak bermaksud menyinggung kamu,
jika kepercayaanmu lain. Jika ada sesuatu, sekecil apapun yang membuat kamu
merasa tidak enak, maka dengan segala rendah-hati aku minta maaf sedalam-dalamnya
padamu. Semoga renungan ini bermanfaat bagi kita semua.
Apakah Menurut Alkitab Hubungan
Homoseksualitas Adalah Dosa?
Jika kita mencoba mencari sebuah jawaban to the point ya atau tidak untuk
pertanyaan di atas, jawaban seperti itu tidak akan diketemukan. Dari penafsiran
banyak orang akan menjawab ya dan bahwa dengan jelas beberapa ayat dalam
Alkitab mengutuk homoseks. Namun, seperti kitab suci pada umumnya, arti
tiap-tiap ayat di dalam Alkitab dapat berbeda menurut siapa yang membacanya,
atau bagaimana membacanya. Seorang Teolog akan mempunyai interpretasi yang
berbeda dengan seorang Biarawan dan berbeda dengan seorang Antropolog dan
seterusnya. Tetapi perbedaan yang paling penting adalah antara orang yang
percaya dengan yang tidak percaya. Sebagai seorang penganut agama Kristen,
percaya saja tidak cukup baik, tetapi harus dibaca dengan iman. Mungkin karena
hal ini, maka selama berabab-abab gereja pernah melarang umat awam untuk
membaca Alkitab agar tidak memunculkan penafsiran yang keliru dan berbeda-beda.
Menurut
iman Kristen Alkitab adalah Firman Tuhan, Sabda Allah yang diwahyukan kepada
para nabi. Tetapi harus dipahami bahwa
Alkitab ditulis oleh manusia, tidak ditulis langsung oleh Tuhan. Dan juga tidak
ditulis atau dicatat segera pada saat Firman itu disampaikan atau Wahyu
diterima. Sering pula penerima Firman atau penerima Wahyu bukanlah penulis itu
sendiri, tetapi pertama-tama Firman itu disampaikan secara lisan dan entah
berapa lama sesudah itu baru dituliskan di atas entah loh-batu, daun lontar
atau kertas. Oleh sebab itu, Alkitab kental dengan tradisi dan cara hidup serta
cara berpikir penulisnya.
Apakah
Alkitab mengutuk homoseksual? Jawabnya Ya; baik pada Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru, kecuali kitab-kitab Injil.
Bedanya pada Perjanjian Lama kutukan itu terdengar begitu menakutkan,
contohnya terdapat pada kitab Imamat: “Bila seorang laki-laki tidur dengan
laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan
suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada
mereka sendiri” (Imamat 20:13)
Kitab
Imamat diturunkan Tuhan pada saat Musa sedang memimpin bangsa Israel keluar
dari Mesir menuju tanah Kanaan. Sepanjang pengembaraan di padang pasir bangsa yang masih uncivilized itu selalu bersungut-sungut
kepada Musa setiap kali mereka menghadapi kesulitan. Bangsa itu tidak menurut
kepada Musa dan tidak percaya kepada
Tuhan. Mereka sering membuat berhala untuk disembah. Di tengah kemurkaanNya
menyaksikan tingkah-laku bangsa itu, maka Tuhan menurunkan sepuluh Firman
disertai ajaran-ajaran moral yang mungkin belum pernah dikenal bangsa Israel
sebelumnya.
Kutukan
di atas bukanlah satu-satunya jenis penyimpangan yang dikutuk, hampir
keseluruhan bab ini berisi larangan melakukan hubungan seksual yang amoral dan
abnormal, antara lain; dilarang berzinah dengan istri orang lain, mertua lelaki
dilarang berhubungan seks dengan menantu perempuannya, seorang lelaki dilarang
kawin dengan seorang wanita dan anak perempuannya sekaligus, lelaki maupun
perempuan dilarang berhubungan kelamin dengan binatang. Semuanya larangan
tersebut di atas diancam dengan hukuman mati. Bahkan yang ekstrim dan agak aneh
untuk ukuran jaman sekarang adalah jika seorang laki-laki melakukan hubungan
seks dengan seorang perempuan yang sedang haid, dan perempuan tersebut tidak
mencegahnya, kedua-duanya dikatakan harus dilenyapkan!
Mengapa
larangan-larangan itu terdengar begitu keras dan menyeramkan? Mungkin karena
kekerasan hati umat Israel
yang tidak patuh terhadap Tuhan, sehingga Musa perlu mempergunakan taktik
menakut-nakuti mereka.
Yang menarik adalah bahwa tidak
sekalipun Perjanjian Lama menyinggung hubungan homoseks perempuan atau lesbian.
Apakah masa itu hubungan lesbian belum dikenal karena jumlah kaum laki-laki
lebih banyak dari pada kaum perempuan? Ataukah karena kaum gay melakukan
hubungan sejenis terang-terangan dan sangat sering terjadi karena sulit
menemukan perempuan untuk memuaskan nafsu birahi mereka? Bukankah ada
kemungkinan Sodom dan Gomorah ditunggangbalikkan
Tuhan karena dosa sodomi (ada kemungkinan kata “sodomite” berasal dari kata Sodom . Lihat juga Judas
7)?
Berbeda
dengan kitab Perjanjian Lama yang sarat dengan tradisi bangsa Israil kuno,
bahkan sangat sulit dipahami tanpa mengerti tradisi dan cara hidup masa kuno
itu, maka kitab Perjanjian Baru terasa lebih universal. Intisari dari semua ajaran Yesus adalah
cinta-kasih, dan ajaranNya memang ditujukan kepada bangsa-bangsa di seluruh
permukaan bumi ini.
Pada keempat Injil; yaitu Injil
Matius, Markus, Lukas dan Yohanes yang mencatat kisah hidup dan ajaran Yesus,
tidak ada satu ayatpun yang mengutuk atau melarang homoseks secara eksplisit
seperti kitab Imamat. Yesus memang berfirman mengenai perceraian dan zinah. “Barang
siapa menceraikan istrinya kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan
lain, ia berbuat zinah.” (Matius 19:9).
Ajaran yang sama juga ditulis dalam Injil Markus 10: 11. Mengenai
hubungan heteroseks dan homoseks mungkin hanya inilah ayat-ayatnya: “…bahwa
Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan
perempuan…” (Matius 19:4, Markus 10:6) dapat ditafsirkan bahwa Ia,
Yesus memberikan pandanganNya, bahwa pada dasarnya manusia itu harus hidup
berpasang-pasangan, laki-laki dengan perempuan. Dan tentang penyimpangan
orientasi seksual dikatakanNya : “Ada
orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya,
dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang
membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh Kerajaan Surga…(Matius
19:12). Dalam Injil versi bahasa Inggris, ayat tersebut di atas terbaca: “For there are eunuchs who have been so from
birth, and there are eunuchs who have been made eunuchs by men and there are
eunuchs who have made themselves eunuchs for the sake of the kingdom of
heaven…” Eunuchs menurut
kamus Webster, kira-kira adalah laki-laki yang dikebiri, sida-sida, atau para
banci.
Apakah sikap lunak Yesus
disebabkan homoseks bukanlah suatu problem susila seperti terjadi pada jaman
nabi Musa? Ataukah karena kasihNya dan keilahianNya, maka Dia dapat mengerti
dan mau menerima setiap manusia, dengan penyimpangan-penyimpangannya? Ataukah
karena cinta-kasih dapat menutupi segala pelanggaran seperti dikatakan penulis
kitab Amsal? (Amsal 10:12).
Ayat-ayat selanjutnya tentang
hubungan homoseksual ditulis oleh Santo Paulus, merupakan pandangan pribadinya
dan kecamanya sebenarnya lebih ditujukan kepada kaum Farisi dan Yahudi yang
sudah menerima hukum Taurat, tetapi sikap mereka munafik menurut Paulus. Kepada
jemaat di Roma, Paulus menulis,”Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada
hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan
yang wajar dengan yang tidak wajar” (Roma 1:26). Apakah yang dimaksud
Paulus dengan wajar (natural) dan tidak wajar (unnatural) adalah hubungan
lesbian? Tidak sejelas cara dia mengatakan mengenai para suami yang melakukan
hubungan yang tidak wajar,…”sehingga mereka melakukan kemesuman,
laki-laki dengan laki-laki…” (Roma 1:27).
Dalam suratnya kepada jemaat di
Korintus, Paulus berapi-api ketika dia berbicara mengenai mencari keadilan dan
kerajaan surga, dia mendaftarkan sejumlah pendosa yang menurutnya tidak akan
mewarisi kerajaan surga, …Orang cabul, penyembah berhala, orang
berzinah, banci (dalam versi bahasa Inggris ditulis homosexual) …”(1
Kor 6:9). Ada
beberapa kali lagi Paulus menyinggung soal homoseksual. Kepada Timotius, dia
menulis lagi tentang tentang kegagalan jemaat mengamalkan hukum Taurat. (1
Timotius 9-10). Seorang rasul lain, Yudas juga mengingatkan kepada jemaat
Kristen yang pertama agar tidak jatuh ke dalam kedosaan seperti Sodom dan Gomora.
Percabulan dan Cinta Kasih Lesbian
Jika diperhatikan lebih dalam, dengan
segala keawaman maka yang dikecam dan dikutuk baik penulis Perjanjian Lama
maupun Rasul Paulus adalah percabulan. Percabulan memang bukan monopoli
golongan tertentu. Baik heterosek maupun homoseks, percabulan dan perzinahan
dapat terjadi. Seorang suami yang menyeleweng, istri yang serong, laki-laki
cabul baik dengan sesama laki-laki maupun dengan perempuan yang bukan istrinya
dan pelacuran.
Ketika
kita mencoba mencari cara bagaimana merekonsiliasi iman Kristen dengan
orientasi seksual kita, mungkin pertama-tama kita harus jujur pada diri
sendiri, apakah kita membangun sebuah hubungan berdasarkan kasih yang suci
ataukah nafsu berahi? Kita tidak dapat menutup mata terhadap berbagai cara yang
dipergunakan kaum lesbian untuk mencari kepuasan seksual. Beberapa contoh “kebejatan” dapat dikemukakan
di sini. Ada
seorang isteri yang di permukaan membina perkawinan normal, diam-diam mengajak
teman wanitanya untuk pemanasan sebelum kedua wanita itu akhirnya digauli sang
suami. Wanita-wanita biseksual yang
saling merangsang sebelum berhubungan seks dengan laki-laki, berame-rame
pula. Atau kaum lesbian yang gonta-ganti pasangan. Di kota-kota metropolitan
seperti Jakarta ,
pelacuran di kalangan homoseks tidak kalah serunya dengan pelacuran kaum
heteroseks.
Kita
juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada rumah tangga yang
berantakan karena sang suami tiba-tiba menyadari dirinya ternyata gay, istri
yang tiba-tiba merasa perkawinan yang telah dibina sekian waktu itu salah,
bahwa dia hanya bisa berbahagia dengan teman wanitanya. Peristiwa seperti ini memang sangat
menyedihkan, terutama buat pasangan dan anak-anak yang dikorbankan. Jadi dapat
dimengertilah jika kemudian anak-anak, pihak keluarga dan bekas pasangan
mencela homoseksual, merasa jijik dan benci. Ada istri yang merasa sepuluh kali lebih baik
suaminya berselingkuh dengan seorang wanita dari pada seorang pria, demikian
juga seorang suami akan merasa lebih sportif bersaing dengan sesama pria dari
pada dengan seorang wanita.
Tetapi apakah orang-orang yang
melakukan hal-hal di atas pernah merisaukan bagaimana merekonsiliasi antara iman
dengan orientasi seksual mereka? Mungkin
tidak. Mereka adalah penikmat manisnya dosa atau kaum yang mengaku tidak
beragama. Tetapi rekonsiliasi sangat diperlukan bagi mereka yang memiliki
perasaan cinta-kasih yang begitu kuat terhadap pasangannya tetapi di lain pihak
merasa berdosa. Dan terutama rekonsiliasi diperlukan karena sebagai manusia
kita tidak memiliki hidup kita ini. Apapun yang menjadi pilihan hidup kita,
harus kita pertanggungjawabkan. Apapun pilihan hidup kita, hendaknya pilihan
itu tidak mengorbankan kebahagian orang lain.
Jika
akhirnya kita meyakini kesucian cinta kita, bahwa kita telah membawa arti dalam
hidup pasangan kita tanpa mengorban siapapun dan kita merasa bahagia dengan
hubungan kita, maka kembali lagi pertanyaan yang sama; apakah kita telah
berdosa? Jawabanya sekali lagi, kita tidak tahu. Tidak ada yang tahu, namun
harus diketahui bahwa Tuhan tidak suka kesombongan, tidak perduli siapapun
kita, apapun yang kita lakukan, Tuhan menilai dari ketulusan kita.
Tentang hal ini Yesus memberikan
pengajaran kepada kita melalui Injil Lukas, ceritanya ada dua orang datang ke
Bait Allah untuk berdoa, yang pertama seorang Farisi yang melaksanakan semua
ketentuan hukum Taurat, yakni, tidak lalim, tidak merampok, tidak berzinah dan
memberikan sepersepuluh penghasilannya serta berpuasa dua kali seminggu, karena
itu dia merasa telah berbuat benar dan tidak berdosa. Orang kedua seorang
pemungut cukai (yang sering dijadikan lambang orang berdosa), merasa sangat
malu dan tidak layak di hadapan Tuhan, karena itu dia berdiri jauh-jauh dengan
kepala tertunduk dia berdoa demikian: “Ya, Allah, kasihanilah aku orang berdosa
ini.” Menurut Yesus, pemungut cukai inilah yang akan dibenarkan di hadapan
Allah sedangkan orang Farisi itu justru jatuh karena tinggi hati, karena merasa
sudah bersih dan suci (Lukas 18: 9-14).
Merekonsiliasi
Iman dengan Orintasi Seksual
Sesungguhnya apakah dosa itu? Sebuah
perasaan bersalahkah? Alkitab menerjemahkan dosa sebagai perbuatan yang melawan
perintah Tuhan. Apakah mencintai
seseorang melawan perintah Tuhan? Kita tidak dapat menghakimi diri kita sendiri
maupun meminta orang lain menghakimi kita.
Kita juga tidak akan menemukan jawaban yang praktis dari Alkitab, karena
Alkitab memang bukan sebuah buku tuntunan praktis. Meskipun Yesus Kristus
mengatakan bahwa hukum yang utama adalah cinta-kasih, tidak berarti kita dapat
membenarkan diri kita begitu saja.
Akhirnya Yesus berkata kepada
mereka: “Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama
melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yoh. 8:1-11).
Ya,
siapa dari antara kita yang bukan orang berdosa? Ahli Taurat dan kaum Farisi
itupun tidak merasa dirinya tanpa dosa. Mereka pergi seorang demi seorang,
hingga tinggallah Yesus dan perempuan itu.
Pada ayat kesepuluh, dikatakan Yesus berdiri dan berkata kepada
perempuan itu demikian: “Hai, perempuan,
di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?” Perempuan itu
menjawab: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Akupun tidak menghukum engkau.
Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Janganlah
kita mencari pembenaran dan merasa tidak berdosa dengan alasan apapun. Kebijaksanaan
kita mungkin tidak pernah cukup untuk menjawab pertanyaan kita sendiri, mengapa
kita mencintai seorang wanita? Mengapa kita homoseks? Mengapa kita tidak dapat mencintai seorang
laki-laki? Mengapa Tuhan memberikan kita sifat orientasi seksual yang berbeda?
Ataukah mengapa terjadi suatu peristiwa dalam hidup kita sehingga membuat kita
berubah? Dan banyak lagi alasan mengapa seseorang menjadi lesbian. Tetapi semua
itu terjadi bukan karena suatu kebetulan, tetapi mungkin kehendak Tuhan agar
terjadi seperti itu. Jadi yang harus kita lakukan adalah pasrah. Serahkan
sepenuhnya problem maupun harapan kita ke dalam tanganNya. Rekonsiliasi terjadi
jika kita tetap mempunyai relasi dengan Tuhan dan mempunyai hati yang penuh
kasih.
Rekonsiliasi
tidak akan terjadi jika kita ketakutan akan dosa kita dan menutup hati kita
yang ingin mencinta. Banyak kemungkinan kita akan bersungut-sungut kepada Tuhan
dan rusaklah relasi kita dengan Dia.
Menutup hati kita terhadap cinta akan menimbulkan banyak kesengsaraan,
menahan diri untuk mencintai bahkan akan menghancurkan hati orang lain, mungkin
pula menghilangkan satu-satunya kesempatannya untuk berbahagia.
Jika kita telah pasrah dan mau menerima
kelainan kita, lalu apa yang dapat kita lakukan? Berbuat sesuatu yang berguna
atau bersembunyi bagaikan pengecut adalah daftar isi dari pada pilihan kita.
Banyak hal positif yang dapat
dilakukan oleh sepasang lesbian. Keadaan dunia hari ini sungguh jauh berbeda
dengan 2000 tahun yang lalu apalagi masa nabi Musa memimpin umat Israil
menyeberangi Laut Merah. Pada masa itu jumlah manusia tidak sebanyak saat ini.
Untuk memperkuat pasukan pemimpin-pemimpin masa itu memerlukan banyak kaum
pria, karena itu hubungan heteroseks penting agar bangsa berkembang.
Namun hari ini banyak anak-anak
menjadi yatim-piatu oleh berbagai sebab. Manusia di atas bumi sudah melebih lima milyar
banyaknya, maka jika Tuhan masih
mengutus seorang nabi, maka mungkin dia akan mengimbau umatnya untuk selibat
atau menjalin hubungan homoseksual saja. Mungkin saja. Para anak
yatim-piatu tadi, mereka membutuhkan kasih-sayang, perlindungan dan rasa aman.
Jika ada pasangan lesbian yang bersedia mengasuh dan mengasihi mereka, tidakkah
hati Tuhan tergerak?
Masih banyak hal-hal baik dan
mulia yang dapat dilakukan dan tentu saja lebih baik dilakukan berdua dari pada
sendiri, bukan? Berikan diri kita untuk
dipakai Tuhan, karena hanya Dialah yang tahu apa yang terbaik bagi hidup kita.
Siapapun kita.
Tidak mudah mengumpulkan bahan untuk
mengisi bagian tulisan ini. Selama bertahun-tahun aku sendiri tidak pernah
menyadari bahwa ada pergumulan batin seperti ini. Aku mengenal pasangan hidup
saya ketika saya belum dibaptis menjadi seorang Kristen-Katolik. Ketika sudah
menjadi seorang Katolik yang beriman, aku malah mempengaruhi pasanganku yang
tadinya belum menganut agama tertentu sehingga diapun akhirnya dibaptis sebagai
seorang Kristen.
Jika saya pikirkan dalam-dalam
ternyata sikap saya hari ini tidaklah jauh berbeda dengan sikapku pada waktu
awal aku dibaptis. Aku masih percaya bahwa Tuhan mengasihiku apa adanya, dan
aku selalu berusaha untuk membalas kasih-sayangNya dengan memberikan kasih itu
kepada sesamaku, termasuk pasangan hidupku dan aku berusaha sekeras-kerasnya
agar apapun pilihan hidupku, aku akan mempertanggungjawabkannya baik sekarang
maupun pada hari penghakiman akhir. Dan yang terpenting, saya berusaha untuk
tidak mengorbankan orang lain. Ketika ujian datang menimpaku, kasih-sayangku
teruji, karena ketika semuanya diambil dari tanganku, cinta-kasihku tidak
berkarat menjadi benci dan dendam.
Semua yang aku katakan di atas
bukanlah kesaksian atau pembenaran diri apalagi pengajaran. Tetapi sekedar sharing antara kita. Jadi saya juga
ingin mengundang teman-teman untuk sharing
pengalaman masing-masing, bisa mengirimkan email langsung kepada saya ernestjkwen@googlemail.com , jika
kamu tidak ingin semua orang ikut membaca apa yang kamu tulis, atau jika kamu
ingin semua teman-teman bisa membacanya dan mendiskusikannya, Forum di web-site
Swara Srikandi adalah tempat yang cocok untuk itu.
Karena seperti saya katakan di atas tidak
mudah memperoleh bahan untuk mengisi bagian ini, tetapi cerita-cerita yang inspiratif
sebenarnya banyak tersedia di situs Christian Lesbian, http://www.christianlesbians.com.
Tetapi janganlah semua itu dibaca dan ditafsirkan sebagai kesaksian dan
pembenaran diri.
Sebagai orang Kristen aku percaya bahwa
menjadi pengikut Yesus Kristus bukanlah pilihan hidup tetapi panggilan hidup.
Seperti Yesus Kristus sendiri menyatakan “Bukan engkau yang memilih Aku, tetapi
Aku yang memilihmu”. Jadi jika ada umat Kristen yang meninggalkan kebaktiannya
karena dia seorang lesbian, maka aku percaya bukan karena itu sebabnya,
sebabnya karena Tuhan memang menghendaki untuk tidak memanggilnya untuk saat
itu atau untuk tujuan lain. Kerajaan Allah siapa yang dapat menduganya?
Tetapi jika kamu seorang
beragama—agama apapun--, dan kamu seorang lesbian, aku ingin mengimbau dengan
sepenuh hatiku agar kamu tidak meninggalkan ibadahmu kepadaNya, agar kamu tidak
menyerah dalam imanmu. Karena jauh dari Tuhan, kita akan binasa, bukalah dirimu
sepenuhnya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Ia yang akan membentuk hidupmu,
menuntun jalan hidupmu, siapapun kamu. Jangan biarkan manusia lain
menghakimimu, bahkan jangan sampai kamu menghakimi dirimu sendiri.
Apapun yang akan terjadi,
semuanya akan terjadi seturut kehendak Tuhan.
Kasih suci tidak pernah berkarat, tidak pernah mendatangkan penderitaan.
Karena kasih itu memberi dengan tulus dan siapa yang memberi dia akan menerima,
siapa yang tidak memiliki dia tidak akan kehilangan.
Tetapi nafsu selalu ingin
dipuaskan, tidak pernah memberi karena itu tidak akan menerima, tidak akan
bertumbuh kembang. Dan ketika apa yang diinginkan diperoleh, kebosananlah yang
menyusul, semua yang kita miliki akan diambil dari kita suatu ketika. Jadi jika
kamu mencintai seseorang, cintailah dia dengan setulus-tulusnya, jika kemudian
Tuhan menghendaki kalian untuk berpisah, perpisahan itu akan menjadi perpisahan
yang baik, tidak ada yang akan disakiti. Jadi jangan takut untuk mencintai.
Jika setelah kamu baca renungan
ini, kamu berpendapat apa yang saya katakan adalah omong kosong belaka. Aku
ingin menyakinkanmu bahwa tidak ada yang omong kosong, apa yang aku katakan
adalah pengalaman, renungan, ilham dan karunia. Jika kamu pikir apa yang saya
tulis ini cukup bagus, tetapi kamu masih merasa ketidakseimbangan antara iman
dengan orientasi seksualmu, maka saya ingin menganjurkan padamu, berhentilah
melawan dirimu sendiri, berhentilah merasa berdosa, kamu hanya perlu menutup
mata, merapatkan jari-jemarimu dan berdoa dengan pasrah. Jadilah bejana yang
siap dibentuk. Selanjutnya terserah Dia.
Nice article... benar2 membuka mata saya..
BalasHapus