Berbicara
mengenai transgender memang bukan sesuatu yang gampang karena ini menyangkut
banyak aspek. Setiap orang trans (Transpeople) mempunyai pengalaman yang berbeda-beda
tentang penghayatan tubuh biologisnya, identitasnya, gendernya, penerimaan dirinya.
Seperti halnya seks biologi, gender secara umum dianggap sebagai konstruksi social yang dikotomi
yaitu laki-laki dan perempuan. Seperti pemaparan Gayle Rubin, is that gender is the “socially imposed division of the sexes
that transforms males and females into ‘men’ and
‘women’ Bagaimana secara sosial dari Female dan Male
menjadi perempuan dan laki-laki (Dalam bahasa Indonesia memang sulit menemukan padanan yang
cocok untuk Female/Male karena untuk gender dan sex biologi semua sama
menggunakan laki-laki dan perempuan, dulu ada penggunaan kata betina dan jantan tapi dianggap
kasar dan seperti penggunaan untuk hewan)
Masyarakat hanya
mengerti gender yang binary dan sudah terkonstruksi sejak bayi lahir. Mereka
tidak memberikan ruang atau wilayah sosial bagi orang yang gender atau sex
biologinya berbeda. Misal bila seorang bayi intersex lahir mereka akan segera
mengadakan penyesuaian kelamin yang orang tuanya inginkan tanpa menunggu
perkembangan sang anak atau menunggu anaknya besar bertanya kepada anaknya.
Kelaki-lakian dan keperempuanan seseorang seakan-akan melekat pada sex
biologinya dan bila ada ketidaksamaan maka dianggap sebagai penyimpangan atau
dianggap tidak normal dan dianggap harus diobati.
Gender tidak
hanya melibatkan tugas-tugas gender saja, Ketika seseorang lahir dan kelaminnya
terlihat maka pada saat itu label gender telah diberikan beserta peran
gendernya, atribusi gender, identitas gendernya, dan juga ekspresi
gendernya. Begitupula dengan Atribusi gender. Bagaimana orang lain memandang
gender seseorang. Hal ini didasarkan pada penampilan individu dan juga pada
peran-perilaku yang secara kultural dikodekan sebagai maskulin atau
feminin. Atribusi gender dan peran gender mungkin atau mungkin tidak
bertepatan dengan satu sama lain dan dengan satu gender lahir.
Itu sebab ketika
seseorang yang menenmukan dirinya tidak sesuai antara sex biologi dan identitas
gendernya maka akan terjadi kebingungan. Identitas gender mengacu pada pengertian
individu tentang gendernya sendiri, yang mungkin berbeda dari gender seseorang ketika lahir
atau bagaimana orang lain memandang gender seseorang. Hal ini juga dialami oleh
teman-teman trangender Female to Male. Baru akhir-akhir ini banyak anak-anak transgender
Female to Male baik yang menyebut dirinya Priawan atau Transmen yang coming out di
sosial media atau di komunitas.
Tetapi masih ada
dan banyak yang masih bingung apa itu priawan atau transgender laki-laki.
Apalagi buat mereka yang tinggal bukan di kota besar, yang tidak mempunyai
akses internet atau sosial media. Berbeda dengan waria atau transgender
perempuan yang lebih mempunyai model buat transgender muda. Kurangnya literatur
tentang perkembangan identitas Transgender female to male membuat para
transgender tidak mengerti dan terjadi kebingungan identitas. Oleh karena itu
saya ingin membagikan beberapa tahapan perkembangan identias Transgender
khususnya perempuan ke laki-laki dari beberapa ahli dan penelitian.
Menurut Lewins
(1995) dalam Transsexualism in society yang meneliti Transgener Male to Female: ada 6
tahapan yang dialami individu transgender:
Pertama,
perasaan kecemasan yang terus menerus karena merasa tidak nyaman dengan tugas
gendernya. Tahap kedua adalah tahap pencarian, mereka mulai belajar dan mencari
tahu tentang transeksual dan menyadiri bahwa transisi gender itu memungkinkan.
Namun, mereka menyangkal bahwa identitas ini berlaku untuk mereka di tahap
ketiga, "menjernihkan dan penundaan. Setelah akhirnya menerima diri
sebagai transexual (tahap keempat), Mereka mulai melakukan “sex reassignment” (tahap kelima) dan meraih
“invisibility” sebagai individu yang
ditugaskan sebagai laki-laki saat (tahap keenam).
Mengesampingkan asumsi operasi, pada model perkembangan identitas transeksual laki-laki memiliki banyak kesamaan dengan transeksual perempuan. Seperti dalam skema Lewin, orang-orang perempuan yang ditugaskan pada tahap pertama dari Jeremy Baumbach dan Louisa Turner (1992) tiga model tahapan. Tahap pertama “female gender disorder” memiliki perasaan ketidakpuasan atau ketidaknyamanan dengan gender mereka. Mereka mulai berharap bahwa mereka adalah laki-laki sebagai “fantasized solution” dalam perasaan mereka (tahap kedua) dan kemudian, seperti pada model identitas MTF, bertindak atas keinginan ini dengan mengejar "ganti kelamin" (tahap ketiga). Namun, Baumbach dan Turner menentukan penugasan lebih luas daripada Lewins dan Bolin, mengakui bahwa individu FTM mungkin melalui transisi dengan menggunakan hormon dan mungkin tidak mencari atau melakukan operasi penyesuaian gender.
Henry Rubin (2003) dalam Self-made men: Identity and embodiment among transsexual menuses sociologist. Dalam mengembangkan identitas, untuk menjelaskan proses dimana orang-orang transeksual mengkonsolidasikan identitas mereka. Ia menemukan bahwa ada empat tahap. Pertama adalah mengalami perasaan subjektif perbedaan, Kedua menemukan kategori yang tepat dan menempatkan perasaan yang berbeda dengan makna yang tepat. Tahap Ketiga menerima kategori sebagai deskriptif pengalaman pribadi dan Tahap keempat mencari komunitas untuk menggambarkan pengalaman individu FTM. Tiga pertama ini berhenti sekitar sesuai dengan Tahap Lewin dari "kecemasan yang berkelanjutan," "penemuan," dan "penerimaan." Rubin berhenti pada, "membuat pilihan transisi," juga mencerminkan model transeksual lain dan mengakui pilihan yang berbeda yang invidu FTM miliki dalam memutuskan bagaimana mereka akan hadir dan hidup sebagai laki-laki.
Dalam Penelitian Genny Beemyn and Susan Rankin
(2011) yang dibukukan menjadi The Lives
Of Transgender People Perkembangan Identitas Transgender Laki-laki
dibagi menjadi 6 tahap.
Tahap Pertama : Berpikir dirinya sebagai lesbian tapi
sadar bahwa dirinya bukan.
Pertama mereka
berpikir bahwa dirinya adalah seorang lesbian karena tertarik dengan perempuan
tapi akhirnya menyadari bahwa dirinya tidak cocok dengan identitas sebagai
lesbian dan sadar kalau dirinya adalah transgender.
Tahap Kedua : Kesadaran akan diri sebagai Transgender
laki-laki dan transisi itu memungkinkan. Ada beberapa Transeksual male yang pertama
mereka coming out sebagai lesbian karena istilah
lesbian yang mereka kenal saat itu. Dan mereka masih belum tahu bahwa FTM itu
ada sebab yang mereka tahu hanya MTF. Seperti halnya di Indonesia banyak
Transgender muda yang tidak mengenal dengan istilah Priawan atau Transmen.
Tahap Ketiga : Belajar tentang Transeksual dan mencari
tahu mengenai komunitas.
Mereka mulai
belajar segala hal mengenai transgender dan transeksual. Mereka mencari bacaan
mengenai hal itu dan berusaha berhubungan dengan sesama FTM atau komunitas.
Tahap keempat : Mengatasi Denial dan internalisasi
gendernya dan menerima diri sebagai laki-laki.
Banyak
transgender yang terus berjuang untuk menerima dirinya sendiri. Ada ketakutan
atau transphobia di dalam diri sendiri. Mengatasi perasaan negatif karena
menjadi trangender.
Tahap Kelima : Menggunakan Hormon dan melakukan Top
Surgey untuk terlihat seperti yang diinginkan.
Sebagian besar
transgender laki-laki melihat bahwa menggunakan testosteron dan menjalani
operasi rekonstruksi dada sebagai langkah penting untuk perkembangan identitas
mereka, karena hal itu memungkinkan untuk terlihat sebagai laki-laki dimata
orang lain. Setelah beberapa waktu terapi hormon, mereka mulai mengembangkan
kumis, jenggot, jambang, suara lebih dalam, dan massa otot yang lebih besar;
sebagai akibatnya, mereka mulai terlihat sedikit berbeda. Sejauh mana perubahan
tubuh mereka adalah penting untuk beberapa transgender.
Sebaliknya,
operasi ganti kelamin dianggap tidak penting bagi sebagian besar transeksual.
Karena biaya yang mahal dan hasil yang tidak memadai. Mereka merasa tidak perlu
memiliki penis untuk menjadi laki-laki. Sebagian menolak operasi kelamin karena
hasilnya tidak
menarik dan penis tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Juga kerumitan serta komplikasi yang terjadi
setelah operasi. Tapi tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang hal
itu bisa terjadi.
Tahap Keenam : Memiliki perasaan secara lengkap sebagai laki-laki yang berbeda.
Mereka mulai
menerima diri mereka sebagai laki-laki yang berbeda. Mereka mulai menerima
tubuh mereka dan diri mereka sebagai laki-laki. Laki-laki yang dilahirkan dan
dibesarkan sebagai perempuan. Mereka mulai bisa menerima dan berdamai dengan tubuh mereka.
Sebtulnya
saat-saat terpenting dan krusial bagi transgender laki-laki adalah ketika
mereka mulai memasuki masa puber atau akil balik. Dimana terjadi perubahan
fisik pada tubuh mereka. Mulai tumbuhnya payudara, mulai mengalami menstruasi.
Dimana sebelumnya mereka merasa bahwa dirinya adalah laki-laki. Mereka tidak
lagi bisa berperilaku seperti anak-anak laki-laki seperti waktu mereka kecil. Mungkin ketika mereka anak-anak dan berpenampilan
seperti laki-laki, keluarga menganggap itu hanya tomboy dan dianggap biasa. Tetapi
ketika mereka mulai masuk puberitas. Mereka mulai
mengalami masa-masa sulit. Di dalam keluarga mulai ada perlakuan berbeda ketika
anak perempuan mulai tumbuh payudara dan menstruasi. Mereka mulai dibatasi dan
diminta melakukan tugas gendernya dan disinilah perasaan bahwa mereka berada di
tubuh yang salah mulai muncul dan mengganggu perasaan mereka.
Tidak hanya di dalam rumah dan di keluarga, di dalam pergaulan dengan teman
sebaya atau di sekolah juga mengalami perubahan. Mereka tidak lagi bisa bebas
bermain dengan teman laki-laki seperti ketika masih kank-kanak. Kadang perubahan
fisik ini membuat anak-anak transgender menjadi tidak percaya diri, malu dengan
tubuhnya dan berusaha menutupinya.
Perubahan tubuh, tekanan keluarga untuk menjalankan tugas gendernya membuat
trangender muda tumbuh dengan ketidakpastian dan kebingungan. Mungkin untuk remaja
yang sudah terbiasa dengan internet akan lebih muda menemukan informasi tapi
bagaimana dengan transgender yang tinggal jauh dari teknologi dan komunitas? Tentu
tekanannya akan lebih besar dan berdampak pada perkembangan dirinya.
Di Indonesia ada banyak trangender muda yang ingin melakukan penyesuaian
dan mulai mencoba dengan terapi hormon. Tapi ada juga yang tidak ingin
melakukannya. Tidak semua Transgender laki-laki melakukan
penyesuaian kelamin atau melakukan terapi hormon. Ada yang dapat menerima
tubuhnya dan tetap merasa dirinya adalah laki-laki dan mengahayati hidupnya
sebagai laki-laki. Di Indonesia kita mengenalnya dengan istilah Priawan dan dipromosikan
sebagai gender ketiga. Meskipun ada kekuatiran bahwa akan ada dikriminasi
dengan mengusulkan gender ketiga ini dan juga mempromosikan Priawan. Tapi kita
harus berpikiran jauh ke depan tentang masa depan teman-teman Trangender
laki-laki atau priawan.
Bila para orang tua atau sekolah mengerti tentang transgender mereka akan bisa menangani dengan lebih tepat. Misalnya memberikan kebebasan mereka untuk menggunakan seragam perempuan atau laki-laki. Ketika mereka berumur 17 tahun dan harus membuat identitas diri, mereka bisa memilih untuk ditulis laki-laki, perempuan, transgender atau priawan. Begitu pula ketika mereka harus mulai mencari pekerjaan. Mereka tidak lagi dilihat di sex biologi atau gender tapi kemampuannya yang menjadi pertimbangannya.
Reference :
-
Lewins, F.
(1995). Transsexualism in society: A
sociology of male-to- female transsexuals. Melbourne, Australia: Macmillan.
-
Rubin, H.
(2003). Self-made men: Identity and
embodiment among transsexual men. Nashville, TN: Vanderbilt University
Press.
-
Baumbach, J.,
& Turner, L. A. (1992). Female gender
disorder: A new model and clinical applications. Journal of Psychology and
Human Sexuality, 5(4), 107–129.
Thanks.info yg bermanfaat. Benar sekali. Q saja kenal tman2 sesama LGHBT pas akhir2 kuliah dan saat itu q berani gfan wlaupun cma lwt fb n tlpnan. Mklum di NTT internet sulit dijangkau
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus